Sofian Effendi
Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara
Capaian Program Reformasi Birokrasi 2015-2017
Global Competitiveness Report 2017-2018 yang baru-baru ini diumumkan World Economic Forum (WEF) menunjukkan harapan baru pada upaya Pemerintah dalam membangun Aparatur Sipil Negara professional, berintegritas, dan berkinerja tinggi. Menurut laporan tersebut selama kurun waktu 2016-2017 dan 2012-2018 Indonesia mencapai kemajuan yang diumumkan pada 23 September tahun ini, Indonesia mencapai kemajuan yang cukup membanggakan dan menimbulkan harapan baru. Antara 2016-2017 Indonesia naik 5 tingkat dalam daya saing nasional, naik 19 tingkat dalam kemudahan berusaha, naik 19 tingkat dalam indek persepsi korupsi, dan naik 23 tingkat dalam efektivitas pemerintah. Indeks efektivitas pemerintah adalah salah satu ukuran dari kemampuan birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Naiknya Indeks Efektivitas Pemerintah sebesar 23 tingkat – dari 121 menjadi 98 – terjadi karena skor IEP Indonesia naik dari 46 pada 2016 menjadi 53.37 pada 2017, suatu kenaikan cukup tinggi yaitu 7.37 karena tingkat kepercayaan publik yang besar pada pemerintah, dan karena membaiknya pelayanan publik. Kalau momentum pertumbuhan tinggi tersebut dapat dipertahankan selama 4 tahun berturut-turut, pada 2022 ASN Indonesia akan mencapai aparatur negara negara maju dengan skor IEP 82.75 yang dicapai oleh negara-negara BRIC dan negara-negara maju ASEAN.
Untuk menjaga dan mempertahankan pertumbuhan tinggi efektivitas pemerintah, Indonesia harus memfokuskan program Reformasi Birokrasi pada 4-5 tahun mendatang untuk memperkuat dan membangun model kelembagaan aparatur negara dan reformasi birokrasi kelas dunia. Beberapa pilar ASN pusat dan daerah yang lemah yaitu: (a) mutu SDM ASN; (b) model kelembagaan pengelolaan ASN meritokratik yang mampu melawan intervensi politik; dan (c) meningkatkan relevansi rumusan dan implementasi kebijakan pemerintah di tingkat nasional dan daerah.
Akselerasi Program Reformasi Birokrasi 2018-2019 dan 2019-2024
Program Reformasi Birokrasi merupakan salah satu bidang prioritas Pemerintah yang bertujuan mewujudkan Aparatur Sipil Negara Negara seperti yang berhasil dicapai oleh negara-negara di kawasan ASEAN dan negara-negara BRIC (Brasilia, Rusia, India, dan Cina). Namun begitu, walau sudah cukup banyak kemajuan yang dicapai hingga saat ini, Aparatu Sipil Negara dengan kekuatan 4,35 juta pegawai nyatanya belum mampu mencapai peringkat dan skor Indikator Bidang Aparatur yang ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019. Global Competitiveness Report 2017-2018 yang dikeluarkan World Economic Forum (2017) Indonesia mencapai kenaikan peringkat cukup baik, namun belum cukup untuk menjadikan ASN Indonesia sekelas dengan negara-negara maju ASEAN dan BRIC.
Selama 3 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres M. Jusuf Kalla pelaksanaan beberapa quick-wins dalam Sub-bidang Aparatur Negara berjalan sangat lamban. Belum nampak adanya perubahan signifikan pada sebagaian besar pegawai ASN, seperti terlihat dari semangat “business as usual” yang maupun karena kebijakan perbendaharaan keuangan negara yang menekankan pada “realisasi anggaran” menyebabkan terjadinya inefisiensi yang cukup besar dalam penggunaan APBN/APBD.
Kebijakan zero growth selama 3 tahun berturut-turut dan moratorium pengangkatan pegawai selama 3 tahun yang diterapkan Pemerintah telah menimbulkan dua masalah baru dalam bidang ASN. Pertama, terjadinya penuaan pada pegawai ASN yang akan menganggu kelancaran suksesi pada 440.000 jabatan pimpinan ASN. Kedua, ancaman tsunami pensiunan karena lebih dari 40% pegawai ASN berusia di atas 51 tahun. Kalau dalam 5 tahun mendatang jumlah pensiunan pegawai mencapai 1,5 juta orang, beban anggaran akan sangat besar.
Kebijakan pemerintah mengurangi pengangkatan PNS selama 6 tahun berturut-turut tanpa disadari menyebabkan memburuknya rasio pegawai/penduduk Indonesia ke salah satu level terendah di Asia. Pada 2017 rasio pegawai per penduduk Indonesia hanya 1 per 61, jauh di bawah rasio normal 1 per 50 penduduk. Beberapa hari yang lalu Mendikbud menyatakan saat Indonesia kekurangan guru dan tenaga pendidikan sejumlah 465.000. Untuk mengatasi sementara kekurangan guru dan tenaga pendidikan pemerintah daerah mengangkat guru non-PNS dengan gaji yang jauh di bawah gaji pegawai ASN, yang menyebabkan mutu pendidikan lulusan SD dan SLTP sangat rendah. Ditengarai kondisi SDM kependidikan yang seperti ini sangat berpengaruh terhadap mutu lulusan SD-SLTP Indonesia, sebagaimana ditunjukkan oleh nilai tes PISA yang berhasil dicapai oleh murid SD Indonesia masih di bawah skor rerata murid negara-negara OECD.
Bagaimana kelembagaan manajemen ASN?
Indonesia berhasil mencapai lonjakan tinggi dalam Skor Efektivitas Pemerintah karena Pemerintah yang dipimpin Presiden Joko Widodo dan Wapres M. Jusuf Kalla telah menunjukkan prestasi nyata dalam layanan publik, dan kepercayaan publik yang tinggi pada pemerintah nasional seperti ditunjukkan oleh Survey Gallup (2016). Dua faktor pendorong tersebut plus pertumbuhan ekonomi cukup tinggi ternyata berdampak positif terhadap daya saing nasional Indonesia.
Sementara, tiga faktor pendorong Efektivitas Pemerintah yaitu: (1) mutu SDM 4,3 juta ASN; (3) drajat intervensi politik dalam manajemen SDM ASN, dan (4) kemampuan pejabat ASN dalam mempertahankan konsistensi dan relevansi kebijakan publik, nampaknaya akan merupakan titik lemah ASN Indonesia pada beberapa tahun mendatang. Untuk itu Pemerintah harus lakukan perubahan mendasar untuk mewujudkan ASN yang responsive dan kolaboratif, bersih dari praktek KKN, dan bebas dari intervensi politik.
Untuk mewujudkan ASN bebas intervensi politik, strategi berikut dapat ditempuh Pemerintah yang akan datang:
a. Memisahkan dengan tegas jabatan politik dengan jabatan administrasi;
b. Menempatkan profesional pada jabatan Menko Ekonomi, Menkeu, MenPPN/Kepala Bappenas, Menpan dan RB, Menlu, dan Menristek-dikti.
c. Atau, seperti dilakukan oleh beberapa negara urusan pembinaan pegawai ASN pada semua cabang pemerintahan tidak dilakukan oleh menteri yang merupakan unsur cabang eksekutif, tetapi dilakukan oleh sebuah komisi independen yang dibenuk oleh kepala negara. Jepang, Malaysia, dan Muangthai, adalah contoh negara monarki parlementer yang menggunakan strategi kelembagaan Komisi Aparatur Sipil Negara. Filipina yang menerapkan sistem pemerintahan presidensiil bahkan membentuk 2 komisi independen, yaitu The Philippines’ Civil Service Commission untuk mengelola JPT, dan The Philippines’ Career Service Commission untuk mengelola selain civil servants selain Senior Executive Services. Anggota Komisi Aparatur Sipil Negara dipilih dan diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara, bukan sebagai Kepala Pemerintahan. Di banyak negara, komisi tersebut dibentuk dengan menggabungkan kementerian aparatur negara, dan civil service agency, dan civil service training agency.